Penulis: Afrianto, M.Si
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi UNHAS
BERDASARKAN INMENDAGRI No. 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan RPJMD dan RENSTRA Pemerintah Daerah Tahun 2025–2029, Pemerintah Daerah diberi waktu 40 hari pascapelantikan untuk mendorong Ranwal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai dokumen bahasan di DPRD.
Sebagaimana yang tertuang dalam dokumen visi, misi, dan program unggulan Naili dan Ahmad Syarifuddin, terdapat salah satu program yang menjadi sorotan hangat beberapa media lokal, yaitu Program UMKM Go Global, yang diangkat sebagai salah satu ikon pembangunan ekonomi Kota Palopo ke depan.
Di balik ambisi besar tersebut, diperlukan telaah kritis DPRD Kota Palopo yang nantinya turut membahas lebih jauh program tersebut dengan pendekatan teknokratik yang melandasinya. Sebab, strategi yang dirancang secara top down oleh pemerintah daerah terkadang mengabaikan realitas di lapangan, sehingga menyisakan ironi yang pahit.
Ambisi go global masih kurang relevan dengan kondisi UMKM Kota Palopo saat ini, sebab fondasi lokal belum kuat, sistematis, dan adil. Struktur ekonomi di Kota Palopo yang ditopang oleh usaha mikro dan kecil yang saat ini menjadi tulang punggung aktivitas ekonomi justru tidak pernah bermimpi sejauh “go global”, karena selama ini dihadapkan oleh berbagai persoalan dasar yang belum terselesaikan.
Salah satu hambatan mendasar yang dihadapi pelaku usaha mikro di Kota Palopo saat ini adalah keterbatasan akses terhadap permodalan yang aman, terjangkau, dan inklusif. Banyak pedagang kecil untuk tetap bertahan harus merogoh hasil tabungan pribadi, pinjaman dari keluarga, bahkan yang paling mengkhawatirkan bersumber dari rentenir dengan bunga harian yang memberatkan modal usaha.
Lembaga keuangan formal sering kali menolak mereka karena tidak memiliki agunan, laporan keuangan, atau identitas usaha yang memadai. Sementara itu, program kredit mikro yang tersedia, seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat), sering kali sulit diakses oleh pelaku usaha terkecil karena prosedur yang rumit, birokrasi panjang, atau dominasi oleh pelaku usaha menengah yang lebih bankable.
Pemberdayaan UMKM bukan dimulai dari sertifikasi ekspor, tetapi dari sebuah pinjaman kecil tanpa bunga mencekik yang memungkinkan seorang ibu untuk membeli bahan baku esok hari. Sebab, modal kecil yang stabil dan berkelanjutan bisa menjadi pembeda antara bertahan dan berkembang. Selain permasalahan modal, hal lain yang menjadi masalah mendasar para pelaku UMKM di Kota Palopo adalah akses ke pengetahuan, teknologi, infrastruktur, dan sistem yang adil.
Berdasarkan temuan SMERU Research Institute (2023) dalamlaporan “Potret Kondisi UMKM di Indonesia” teridentifikasi empat hambatan utama non-monetari yang secara sistemis menghambat pertumbuhan UMKM, yaitu Keterbatasan pemahaman regulasi, Kesenjangan literasi digital dan pemasaran, Subsidi logistik lokal & klasterisasi distribusi sertaminimnya fasilitasi mengadakan event/promosi produk di tempat yang strategis.
Selaras dengan hasil penelitian SMERU Research Institute, dalam kerangka teori Institutional Voids(Khanna & Palepu, 2010), disampaikan bahwa di negara berkembang, ketiadaan lembaga pendukung yang efektif, seperti lembaga edukasi regulasi, pusat logistik mikro, atau sistem promosi inklusif telah menjadi penghambat utama pertumbuhan usaha kecil.
Membangun UMKM bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal dignity—martabat—untuk bisa berkembang tanpa terjebak dalam birokrasi, ketertinggalan, atau ketidakadilan struktural. Jika Kota Palopo ingin mendorong pemajuan UMKM, maka strategi pembangunannya harus dimulai dari yang paling kecil, yang paling diam, yang paling sering dilupakan. Bukan hanya yang bisa go global, tetapi yang bisa bertahan, belajar, dan punya kesempatan untuk tumbuh secara adil.
Dalam kerangka Inclusive Economic Development, transformasi UMKM harus dimulai dari penguatan kapasitas dasar, akses terstruktur, dan ekosistem pendukung yang menyentuh kelompok paling rentan. Dengan menerapkan pendekatan berbasis bukti, bertahap, dan partisipatif, RPJMD Kota Palopo dapat menjadi contoh pembangunan berbasis akar rumput yang tidak hanya aspiratif, tetapi juga akuntabel dan berkelanjutan.
Untuk itu, dalam rangka mewujudkan pembangunan yang benar-benar inklusif, dokumen RPJMD Kota Palopo perlu melakukan reposisi strategis dengan menekankan pada penguatan kapasitas dasar UMKM mikro melalui pendekatan berbasis akar rumput, sebelum mendorong akses ke pasar global. Prioritas harus diletakkan pada penguatan fondasi lokal yang meliputi literasi usaha, akses terhadap ekosistem digital yang terjangkau, fasilitasi regulasi, dan penguatan rantai pasok domestik sebagai prasyarat substantif bagi kesiapan kompetitif UMKM dalam jangka panjang. (*)