JAKARTA, SETARAKATA.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Dalam sidang putusan pada Kamis, 2 Januari 2025, kemarin, MK menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa sistem presidential threshold, berapa pun besarannya, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
“Norma ini tidak hanya melanggar hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga moralitas, rasionalitas, dan prinsip keadilan,” tegas Saldi saat membacakan pertimbangan hukum untuk Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK.
MK menilai bahwa ketentuan ambang batas minimal pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden selama ini telah membatasi hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan alternatif calon yang memadai.
Hal ini disebabkan dominasi partai politik tertentu yang membuat pemilu presiden sering hanya diikuti oleh dua pasangan calon.
“Fenomena ini menciptakan polarisasi masyarakat yang berpotensi mengancam kebhinekaan Indonesia. Jika tidak diantisipasi, pemilu presiden bahkan dapat terjebak dalam pilihan calon tunggal,” jelas Mahkamah.
Selain itu, MK juga menilai bahwa mempertahankan presidential threshold berpotensi menghalangi pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
“Hal ini bertentangan dengan hakikat Pasal 6A ayat (1) UUD 1945, yang bertujuan memperluas partisipasi rakyat dalam demokrasi,” ujar Saldi.
MK memberikan pedoman kepada pembentuk undang-undang untuk menghindari munculnya jumlah pasangan calon yang terlalu banyak sekaligus memastikan pemilu tetap kompetitif.
Pedoman tersebut meliputi:
- Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
- Pengusulan tidak didasarkan pada persentase kursi DPR atau perolehan suara nasional.
- Partai politik dapat bergabung tanpa mendominasi, agar tersedia lebih banyak pasangan calon.
- Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon dikenakan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu berikutnya.
- Proses revisi UU Pemilu melibatkan partisipasi publik yang bermakna, termasuk partai nonparlemen.
Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan hukum, hak kolektif untuk berjuang dalam politik, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Dengan ini, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo.
Namun, dalam putusan ini terdapat dua hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). (*)