Shalihah Bilqis
Aktivis Perempuan
Mahkamah Konstitusi Menjatuhkan Palu Pemilihan suaran Ulang (PSU) Pemilukada Kota Palopo, sebab Trisal Tahir dianggap tidak cukup bukti yang meyakinkan memiliki ijazah paket C setara SMA. Akhirnya Publik menyimpulkan ijazah paket C Trisal Tahir terindikasi palsu.
Dalam konteks demokrasi substantif, pemenuhan syarat pencalonan kepala daerah bukan sekedar syarat administrasi, juga bukan sekedar syarat formil dan materil pencalonan, namun yang jauh lebih penting secara substantif adalah soal etika moral, kejujuran dan integritas calon pemimpin kepala pemerintahan daerah yang akan dipilih oleh rakyat.
Calon kepala daerah yang terindikasi kuat memanipulasi syarat pencalonan dengan memakai ijazah palsu, bukan sekedar pelanggaran administrasi semata, karena hakikat sebenar-benarnya yang paling utama yang dia langgar adalah prinsip pemilu yang jujur dan adil.
Pemilu demokratis yang jujur, adil serta berintegritas tidak mungkin bisa disuguhkan dengan baik kepada rakyat jika prinsip dasar pemilu sudah dilanggar sedari awal pendaftaran calon kepala daerah.
Konstitusi pemilu mengharamkan meloloskan calon kepala daerah yang sedari awal melanggar etik, berlaku tidak jujur dan tidak berintegritas, begitulah cara sistem demokrasi (konstitusi) melindungi rakyat dari para bromocorah (penjahat) politik.
Kontestasi pemilihan kepala daerah tidak didesain hanya sekedar sirkulasi elit lima tahunan, namun juga menjadi ruang bagi negara untuk mendidik calon pemimpin dan rakyat pemilih untuk terus bisa meningkatkan kualitas demokrasi.
Pemilihan suara ulang (PSU) merupakan metode korektif secara konstitusional terhadap proses pemilukada yang dianggap keluar dari rel konstitusi, dan juga sekaligus cara negara melindungi rakyat pemilih dari para bromocorah politik.
Laku para bromocorah politik terpajang jelas didepan mata, menghanguskan puluhan sampai ratusan milyar uang rakyat membiayai politik yang cacat prosedural, demokrasi digergaji dan diamputasi atas nama rakyat, saat bersamaan elit politik dan pelaku politik masih bisa tersenyum karena tersedia tanding ulang pertarungan politik.
Maka Mahkamah konstitusi tidak bisa dipahami sekedar sebagai ruang sengketa hasil dan ruang perkelahian politik antar para kandidat, MK harus dimaknai sebagai penegak keadilan pemilu, menjadi ruang pengharapan terakhir bagi rakyat mendapatkan rasa keadilan, dan ruang terakhir bagi negara untuk mengevaluasi dan memastikan, serta melindungi rakyat pemilih agar mendapatkan calon pemimpin yang jujur dan berintegritas.
Kasus Pemilihan Suara Ulang (PSU) Kota Palopo, menjadi pelajaran penting bagi seluruh rakyat pemilih Kota Palopo, bahwa politik bukan sekedar uang dan bisnis, juga bukan sekedar tagline dan jargon semata, tapi politik adalah soal kejujuran dan keadilan. Para Politisi punya kebebasan namun kebebasannya tetap dibatasi oleh konstitusi.
Para pelaku politik dibebaskan bermain akrobatik namun tetap ada rule yang harus dipatuhi, begitulah etika berdemokrasi. (*)