JAKARTA, SETARAKATA.com – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, memperingatkan adanya potensi kontraksi ekonomi jika tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan menjadi 12 persen.
Dalam diskusi virtual Indef yang disiarkan di Jakarta, Kamis, Esther menjelaskan kenaikan tarif PPN dapat berdampak negatif pada perekonomian.
“Jika kebijakan kenaikan tarif PPN diterapkan, perekonomian berpotensi mengalami kontraksi,” ujar Esther, Kamis 12 September 2024.
Sebelumnya, Indef telah melakukan kajian mengenai dampak kenaikan PPN dengan skema tarif 12,5 persen. Hasil kajian menunjukkan dampak negatif pada berbagai indikator ekonomi.
Dalam simulasi tersebut, pertumbuhan ekonomi diprediksi terkontraksi sebesar 0,11 persen, konsumsi masyarakat turun 3,32 persen, dan upah riil menurun 5,86 persen.
Selain itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) dapat meningkat sebesar 0,84 persen, ekspor mengalami penurunan 0,14 persen, dan impor meningkat 7,02 persen.
Esther mencatat, data tersebut didapat dari simulasi dengan tarif 12,5 persen, dan meskipun Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, dampaknya kemungkinan tidak akan jauh berbeda.
“Angka-angka ini menunjukkan potensi kontraksi pada konsumsi, ekspor, impor, dan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sesuai Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang saat ini sebesar 11 persen, yang mulai berlaku pada 1 April 2022, akan dinaikkan menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa kebijakan tersebut masih dalam koordinasi dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Keputusan final mengenai tarif PPN 12 persen akan diumumkan oleh Prabowo setelah pelantikan presiden.
Selain itu, UU HPP juga memberikan opsi perubahan tarif PPN antara 5 persen hingga 15 persen dan memberikan pembebasan PPN untuk beberapa kelompok, termasuk kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Kebijakan ini juga mencakup insentif bagi kelompok menengah hingga atas. (*)