PALOPO, SETARAKATA.com – Anggota DPRD Kota Palopo, Abd Salam, angkat bicara menanggapi polemik kebijakan Wali Kota Hj. Naili Trisal yang mewajibkan adanya persetujuan pribadi untuk setiap Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Kebijakan ini sempat menuai kritik dari sejumlah pihak yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk sentralisasi kekuasaan di pemerintahan daerah.
Namun, Abd Salam justru menilai sebaliknya. Ia menyebut kebijakan itu sebagai langkah berani dan perlu dalam rangka memperkuat reformasi birokrasi serta menata ulang sistem pengelolaan keuangan daerah.
“Langkah Wali Kota ini menunjukkan keberanian politik dalam menata ulang sistem keuangan yang selama ini terlalu longgar. Ini bukan soal mengambil alih, tapi mencegah kebocoran sejak dini,” tegas Abd Salam, Selasa (7/10/2025). Kemarin.
Menurutnya, kebijakan tersebut penting sebagai tahap awal konsolidasi pemerintahan agar penggunaan anggaran berjalan lebih transparan dan akuntabel.
“Lucu kalau ada yang menyebut ini sentralisasi kekuasaan. Baru jalan dua bulan, kok sudah heboh. Pemerintahan itu ada tahap konsolidasi. Tidak bisa langsung disamakan dengan kondisi normal,” ujarnya.
Abd Salam juga menegaskan kepala daerah memiliki hak dan tanggung jawab penuh untuk mengambil alih kontrol sementara demi memastikan sistem keuangan berjalan sesuai prinsip akuntabilitas.
“Kalau dari awal tidak tegas, nanti sistem yang bobrok malah terus diwariskan. Kepala daerah memang harus memimpin dari depan, bukan hanya jadi simbol semata,” tambahnya.
Terkait posisi DPRD, Abd Salam menjelaskan bahwa lembaganya tetap menjalankan fungsi pengawasan, tetapi tidak akan mencampuri ranah teknis pelaksanaan kebijakan.
“DPRD bukan lembaga yang bertugas mendikte teknis birokrasi. Kami mengawasi, memberi masukan, dan memastikan bahwa kebijakan tetap dalam rel aturan. Tapi soal eksekusi teknis, itu domain Wali Kota,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menduga bahwa resistensi terhadap kebijakan tersebut muncul dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan dengan sistem lama yang longgar.
“Kalau ada yang merasa terganggu, mungkin karena selama ini terlalu nyaman. Padahal publik sekarang menuntut ketegasan, transparansi, dan akuntabilitas,” ucapnya.
Menutup pernyataannya, Abd Salam menegaskan bahwa kebijakan persetujuan SP2D bukan bentuk konsentrasi kekuasaan, melainkan konsolidasi kepemimpinan demi perbaikan tata kelola pemerintahan.
“Ini bukan soal kekuasaan, tapi soal leadership. Kalau sistemnya sudah rapi, kewenangan teknis bisa dilimpahkan lagi ke OPD. Tapi awalnya memang perlu kontrol yang ketat,” tutupnya. (*)






